“Eh, Yin gimana nih?, lulus ga?”
“Lulus dong... oh iya, kamu dikelas X berapa?, kalo aku di kelas X.1”
“Kalo aku sih di kelas X.5. Baru kali ini kita pisah kelas ya?”
“Iya. Aneh juga ya rasanya. Tapi semoga ini ga meregangkan persahabatan kita ya San...!”
“Otomatiiis!, Ga ada yang bisa misahin persahabatan kita. Janji?”
“Janji!”, aku mengatakannya dengan yakin.
Aku dan Santi sudah bersahabat sejak SMP. Ia adalah sahabat yang sangat aku percayai. Hanya dengannya aku membagi keluh kesahku. Adalah suatu kebahagiaan bisa bersahabat dengannya. Dia adalah sahabat yang paling pengertian. Dia juga punya nama spesial buat aku, Ayin. Hanya dia yang aku bolehin manggil aku dengan sebutan itu.
*****
“Hai San...dari tadi aku nungguin kamu lho!, ngantin yuuk!”
“Siapa takut!. Aku juga dah laper banget nih. Sori ya dah buat kamu nunggu. Tadi aku ada keperluan ma Lulu cs, teman sekelasku. Jadi agak lama deh...!”
“Halah!, sok sungkan!, ga pa-pa lagi, San. Nyante ajah”
“Gimana?, kenalanmu di kelas udah banyak blon?”
“Ya...lumayanlah. Tapi ga sebanyak temanmu. Oh iya, aku punya satu teman di kelas, cantik dan ramah sih. Tapi aku ga suka ma dia.”
“Lho mang napa, Yin?”
“Dia aneh. Dia sih sering ngajak aku ngobrol. Tapi aku selalu ngehindar. Pokoknya, aku ga suka ma dia. Bawel!!”
“Ya udahlah Yin, gak usah emosi gitu kalee!”
*****
“Itu kan Santi. Jalan sama siapa ya dia?”
“Santi...!!, San...!!!”, Aku berteriak sekeras mungkin dan akhirnya usahaku tidak sisa-sia.
“Kamu ngapain di sini Rin?. Jalan ke Mall kok sendirian. Ga da yang mo nemenin yah?, kaciaaaan.... gaul dikit napa?”
Rin?, dia manggil aku dengan sebutan “Rin”?. Akh!, pasti aku salah dengar. Tapi bahasa itu... terlalu pahit rasanya.“San, kamu apa-apaan sih?, ngomongnya kok gitu amat?, kamu gak sakit kan?”
Aku mencoba mengoreksinya dengan setengah berbisik. Sulit ku percaya memang kalo yang barusan mengeluarkan bahasa sesinis itu adalah Santi. Sahabatku yang aku cintai dengan sangat.
“Napa?, kamu takut ya kedengaran ma yang laen?. Argh!, udahlah Rin. Aku dah capek tau gak?. Capek banget temenan ma kamu akhir-akhir ini. Kamu tuh kaku saat kamu dapet temen barumu yang dulunya kamu bilang kamu gak suka itu. Buktinya mana?, kamu gak setia kawan, Rin. Aku kecewa ma kamu!, kayaknya terlalu sulit bagiku untuk temenan lagi ma kamu. Sori!, kita dah gak cocok!! .... yuuk! Mending kita jalan lagi. Aku muak di sini”.
Santi menggandeng temen-temen barunya yang sejak tadi hanya mampu terdiam melihat arogansi yang dilakoni oleh sahabatku, bagian dari hidupku, Santi. Allah... aku masih tetap menyayanginya. Ingin sekali aku memeluknya erat. Hahhh...! Hampir 2 menit kedua kaki ini tak bisa ku gerakkan dengan nafasku yang terasa begitu sesak memenuhi dada. Santi, aku tak siap kehilanganmu...
*****
“Assalamualaikum Rin!”
“Wa alaikum salam. Eh, Nita!”
“Jam istirahat kok bengong! Ga ngantin nich sama sahabatmu, si....”
“Santi?!”
“yup!”
”Aku kayaknya telah kehilangan dia. Ga akan ada lagi tempatku tuk mengadu segala keluh kesahku.” Huaa...huaaa...!.
“Nih!”, sambil menyodorkan tissue ke arahku.
“Ga usah sesedih itu. Blon tentu juga kamu kehilangan dia. Calm down lah”
“Makasih Nit. Kamu baik sekali. Padahal selama ini aku banyak jahatin kamu lho...!”
“Iya. Ga pa-palah. Tapi Rin...kenapa jadi tiba-tiba gitu?, yang aku tahu nih ya, hubungan kalian selama ini ayem-ayem aja kok. Kok jadi tiba-tiba kaya kucing dan tikus gitu sih, Rin?. Tapi ingat satu hal Rin, sebaik-baik tempat tuk mengadu itu hanya sama Allah lho. Jadi kamu ga boleh tergantung ama orang laen gitu...!”
“Maafin aku ya Nit. Dah banyak buat kamu susah.”
“Yap...sama-samalah. Kitakan temen :-)”
*****
Selanjutnya hari-hariku banyak ku habiskan bersama Nita. Entah apa yang ada di pikiranku. Setiap penjelasan dan argumentasi yang meluncur tajam dari mulutnya langsung menancap erat dikepalaku. Indah sekali ketika dia menjelaskan posisi Allah sebagai Pencipta sekaligus Pengatur. Menarik sekali ketika dia menggambarkan keindahan surga yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang akrab dan mengikatkan diri dengan Sang Maha Raja, Allah. Damai sekali persaudaraan ini. Harus aku akui bahwa tidak pernah ku merasakan hal ini sebelumnya dengan siapapun. Nita benar-benar membuatku tergila-gila pada Islam. Keberanian mulai ku himpun untuk meyakinkan keluarga dan diri sendiri bahwa Tubuh ini harus ku hijabi segera dengan sempurna dengan sepasang jilbab dan khimar/kerudung. Penentangan tak bisa terelakkan. Mama dan keluarga besar menodongkan pilihan yang terlalu sulit bagiku. Jika aku berjilbab dan ikut pengajian maka aku harus melupakan bahwa aku memiliki keluarga. Aku adalah angka NOL yang terbuang. Sahabatku, guru-guruku, teman sekelasku kecuali Nita, mereka semua menentang bahkan mengunciku dalam pasungan pengucilan. Aku bersedia menukarkan nyawaku dengan apapun asal mama bahagia. Tapi... aku kini sadari bahwa tidak ada ketaatan mutlak kecuali pada Allah. Aku tidak menyalahkan mereka sepenuhnya. Karena mereka adalah korban dari sistem borokokok kapitalisme!. Aku tidak akan pernah melacurkan keyakinanku dengan apapun. Termasuk Mama. Aku harus mencari part-time job untuk bisa tetap hidup dan membela Islam, yang menjadi ideologi dan kebanggaanku.
*****
“Nita, temenin aku nemuin Santi yah?”
“Boleh. Kapan?”
“Ya lebih cepat lebih baik. Kalo hari ni aja gimana?”
“Kita ke kelasnya aja kalo gitu. Pasti sekarang lagi ngobrol ma Lulu cs di kelas. Yuuk!”
Nita benar. Dia ma temen-temennya lagi mojok sambil nyanyi bareng.
“San...!, bisa ngobrol bentar gak?, ada hal yang harus aku jelasin ke kamu. Tentang hubungan kita. Persahabatan kita San...”
“Penjelasan?, mo jelasin apa lagi?, persahabatan kita dah selesai. Lagian kamu kan dah punya dia sebagai sahabatmu yang dulu kamu bilangin bawel itu!”
“Plis, San!, jangan gitu dong. Aku kan sahabatmu!, jangan perlakuin aku kayak gini.”
“Napa?, sakit yah?, kaciaaan... tapi lebih sakit aku Rin!. Kamu dah ngianatin semuanya. Kamu tuh penghianat. Sori, aku ga mood bicara ma penghianat!. Permisi.”
“San...tunggu!, kamu banyak berubah.”
“Kamu yang berubah Arin!”
“Aku ga tahu jalan pikiranmu. Aku harus ngelakuin apa San, biar kamu mo tetap jadi sahabat aku?. Aku tuh sayang ma kamu”, aku tak kuasa lagi membendung cairan hangat untuk keluar menghantam jeruji mataku.
“Tinggalin semua gaya hidup kamu yang kampungan ini. Baju longgar yang jadul itu, kerudungmu, teman barumu ini (sambil melirik sinis ke arah Nita) dan juga semuanya!. Gimana?”
“Masya Allah San... itu gak...”
“Apa?, gak mungkin?. Ya udah. Itu berarti kamu dah nentuin pilihan. Nih aku kembaliin kalungnya. Photo aku dah aku keluarin dari situ. Selamat tinggal... Ayin!”
Hahh..Robbiy, persatukan kami di jalan-Mu. Aku menyayanginya karena-Mu. Maka dekatkanlah cahaya petunjuk-Mu padanya. Aku ingin bersamanya di jalan ini.
*****
Sudah setahun berjalan. Hari ini aku sudah 2 bulan duduk di kelas XI. Dan selama itu pula aku tidak pernah melihat Santi, belahan jiwaku. Aku merindukannya dengan sangat. Aku dengan cita-cita baruku yang semakin jelas terpampang di depan mataku. Memasyaratkan Islam dan meng-Islam-kan masyarakat disekolah.
“Assalamu’alaykum...”
“Wa’alaykumsalam. Nita?”
“Kok bengong. Mikirin proker Rohis yang mulai dihalangi ma guru-guru yah?”
Aku memilih diam. Itu salah satunya alasan yang membuat otakku terus berputar.
“Santi... kamu dimana?”, gumamku.
“Oia, ni da surat buat kamu. Aku tinggal dulu yah. Ga usah dibawa stress. Innallaha maa anti :-). Assalamualaykum...”
“Wa’alaykumsalam..”
Dear Ayinku sayang...
Ketika kamu membaca surat ini, aku sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik. Aku telah kehilangan banyak hal dari diriku. Dan yang paling utama adalah kamu Yin. Kamu yang dulu
selalu bersamaku dalam keadaan ups and downs. Kamu yang telah aku sakitin berkali-kali secara sengaja. Kamu yang dulunya selalu kuhapus airmatamu yang kemudian selalu ku tumpahkan dengan tanpa sedikitpun belas kasih. Yin, aku baru sadari bahwa kau terlalu berharga buat disakitin. Kamu terlalu istimewa. Kata maaf tidak akan sanggup menyelesaikan semuanya. Aku telah meninggalkanmu dengan cara yang menyakitkan hanya demi mereka yang mengaku sahabat. Tapi mereka tidak seperti kamu. Mereka tidak ada saat aku ingin mereka ada. Aku tidak peduli dengan ragaku yang menunjukkan kerapuhannya dari hari ke hari. Kanker hati Yin. Kata Nita, Allah sedang mengujiku dengan cara-Nya. Nita selama ini yang terus menghiburku dan menceritakan semuanya. Aku yang melarang Nita untuk bilang semua ini ke kamu. Kini aku juga punya cita-cita baru. Jika Allah memberiku sedikit saja kesempatan, maka aku akan bersama kalian berteriak lantang untuk menegakkan kebenaran Islam. Nita memang pandai untuk membuat orang jatuh cinta pada Islam. Aku mencintaimu Ayin-ku. Aku mencintaimu dengan segenap kemampuanku. Oia, tolong berikan kembali kalungnya yah, aku akan simpan kebali gambarku didalamnya. Jangan lupa yah.
Wassalam.
“Ya Allah... terimakasih Engkau telah mengabulkan doaku. Rangkullah dia. Persatukan kami dalam jalan dakwah yang penuh onak ini...”
Tak pelak lagi, luapan emosi tak mampu ku bendung. Aku bersorak, takbir sekeras-kerasnya sambil melompat. Tas yang menggantung di bahu kiriku putus karena harus menaham beban beratnya ditambah lagi dengan lompatan girangku. Aku tersadar saat semua isi tasku berhamburan. Teman-teman di sekeliling tersenyum geli. Aku tak peduli. Aku langsung memungut sesuatu yang sangat berharga. Kalung. Kalung hati yang pernah dikembaliin Santi. Yup!, akan ku kembalikan padanya. Hari ini juga. Hari ini juga ya Robb. Aku ingin segera menemuinya dan mendekapnya erat. Santiiii...!!!.
“Tuut...!, tuut...!”, Ha-pe bututku menghentikan sorakanku. Pesan dari Nita.
Aww. Rin, aku hrp kau tbah mdngar ni. Santi dah pergi menemui Sang Maha Perkasa.Dia dah lebih dulu mengakhiri semuanya. Isbit ya ukhti. Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rojiun.
Butiran bening di pipi ku biarkan mengalir begitu saja. Aku sama sekali tak ingin mempedulikannya. Ya Allah, kalau ini memang sudah keputusan-Mu, berilah keihklasan padaku untuk menerimanya. Maafkanlah ia ya Allah. Sahabatku yang telah banyak melupakan-Mu. Tapi Engkau maha mengetahui. Dia telah memiliki keinginan besar untuk berbalik ke agama-Mu yang agung dan mau memperjuangkannya. Kasihanilah dia ya Rahman.
Santi... kau di depanku kini. Kau terlihat begitu lemah tak berdaya. Wajahmu pucat pasih. Terlintas lagi semua kenangan indah kita. Apa kau juga begitu San?. Aku ingin melihat senyummu, wajahmu yang cemberut ketika ngambek karena permen kesayanganmu aku makan, dan segala tingkah jahilmu lagi. Aku merindukanmu Santi... sangat!. Tahukah kamu?.
Air mata yang berjatuhan ini, bukan karena aku sedih kau tinggalkan, tapi aku sedih kita tidak bisa bersama-sama untuk berjuang di jalan Allah. Sebagaimana cita-citamu jika Allah memberikan sedikit lagi kesempatan padamu. Tapi Allah terlalu tangguh untuk kita lawan. Maafkan aku San yang tega membiarkanmu... Kau tetap menjadi sahabatku yang sangat aku sayangi. Selamat jalan Santi...semoga Allah merangkulmu dengan segenap kasih sayang. Semoga!. Perjalanan panjang telah berakhir. Kau kini menungguku di pertigaan plang, antara Dunia, Surga dan Neraka.
[nahra] : kendari.
Tulisan ini ku persembahkan
untuk semua teman-teman yang
hingga saat ini masih
memperTuhankan hawa nafsu
dan dunia.
Thanks for inspiration..:-).
Jumat, 11 April 2008
Syndrom Putih Abu-Abu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar