Kami akan terus bergerak, demi sebuah perubahan besar yang akan bergemuruh di muka bumi. Perubahan itu pasti. Pasti datang...

Jumat, 11 April 2008

Manusia bodoh

Kesalahan terbesar sekolah ialah mencoba mengajarkan segala hal kepada anak-anak dan menggunakan rasa takut sebagai motivasi dasarnya. [Stanley Kubrick]

Namanya Bejo Pramudia. Panggilan kerennya: Jo. Pagi-pagi buta kembali dia mengecek perlengkapannya. Dan syukurlah, dia tidak bangun kesiangan seperti hari-hari biasa. Dia masukkan selembar papan –mirip- tripleks yang sudah seminggu ini menjadi Primadona di toko alat tulis. Maklumlah, sedang musim ujian. Perhelatan akbar Ujian Akhir Nasional segera digelar.
^^^^****^^^^

Sekolah Jo yang rapuh…
Jo melongok ke arah jarum jam kulit di tangan kiri. Masih ada waktu 45 menit, pikirnya. Jo memilih berkeliling, pengen nongkrong dimana teman-teman biasa mangkal. Dia tercegat, dengan kerubungan manusia, kawan-kawan seangkatan, batinnya. Ada si Intan, anak borjuis, yang tukang pamer kekayaan. Melihat yang lainnya antusias, Jo terusik rasa penasaran.
“Pada ngapain sih, ni orang-orang?. Bawa apaan tuh si Intan, pake teriak-teriak lage?”, Tanya Jo pada Budi, rekan sejawat yang sama keparatnya seperti Jo.
“Basi lo !!, lo ngga tau ya, si Intan kan dapat wangsit. Yah, kayak contekan gitu deh. Udah, lo embat ajah. Anggap aja pertolongan ghaib. Catet gih sono kunci jawabannya. Ketinggalan nyaho lo”.
Dengan promosi jor-joran, akhirnya Jo manut dan keseleo untuk nyatet yang katanya ‘kunci jawaban’ Ujian. Dalam hati, ada tanda tanya besar.
TANDA TANYA ????
TANDA TANYA ????
TANDA TANYA ????

Ye,, kali aja si Intan bohong, atau di bo’ongin. Darimana dapat bocoran gini. Pertolongan ghaib seperti apa yang mampu membobol sebuah kepercayaan. Ahh…sudahlah!, pokoke cari selamat. Jo menuntaskan tanya dalam hatinya. Dia bergegas pergi, ingin berbagi kepada angin, atau bercakap-cakap dengan rumput basah yang harum tanah. Sekonyong-konyong, ada yang menepuk pundaknya.
”ooohhh….Dimas”, batinnya.
“Jo, elo dah nyatet kunci dari Intan?, gue lihat dong..”
Bibir monyong Dimas memohon. Jo tak kalah manyun dan menyerahkan kertas contekannya ke Dimas. Weits… apa gue kaga salah lihat tuh. Dimas kan juara kelas?!. Sejak kapan doi hobby sama dagelan ‘contek mencontek’ dan ‘gacok-menggacok’. Kurang pinter apa si Dimas itu?!. Kursus tiap hari. Blom lagi privat Less malam hari. Kerjanya juga baca buku mulu. Capek deh !!.
Teramat banyak keresahan di kepala Jo. Shit !!, tiba-tiba aja Jo ngerasa muak dengan semua ini. Jo memilih Jongkok santai di bawah pohon nangka belakang gedung sekolahan. Tempat anak kucing biasa buang hajat. Jo sempat mengendus bau tak enak. Wueekkkss !!. Diacuhkan olehnya. Pandangan Jo lurus, berpikir khidmat. Di tempat itu, dia berkomtemplasi dan merenung.
”Sebenarnya gue sekolah buat apaan seh??. Cuma buat dapet status ‘lulus’??. Kalo emang itu tujuannya, gue harusnya ngikutin jejak si Intan, cari ‘pertolongan Ghaib’, atau se-enggaknya, gue nyuap orang yang mempan di suap. Kalo orang-orang sekolah supaya pinter, kenapa si Dimas yang udah siang-malam belajar namun masih tergoda untuk nyatet ‘contekan’ gue. Kata orang, sekolah bakal nyetak manusia bertakwa, baek hati dan ilmunya tinggi. Tapi gue ngerasa janggal banget. Buktinya: banyak orang pinter tapi kerjanya jadi maling di negara sendiri. Eh…entar deh, gue salah ngga sih mikir kaya’ gini..konyol kah???”.
Lantaran merasa –agak- konyol, Jo berusaha mengosongkan pikiran-pikiran kritis yang menggelitik itu. Jo bangkit dan merutuk diri. Tambah kesal ia ketika sadar sepatunya ke injek e’ek kucing garong di tanah berpasir. Uuhhh !!.
Diliriknya jam tangan….
“sepuluh menit lagi”
*******^^^^^^*******
Suasana kelas ricuh sekaligus tegang. Dua hari ujian akbar yang mendebarkan. Bergeming horor, menyeruak TAKUT !.
Menyaksikan ketegangan ini, tak sabar Jo menyerocos.
“Napa sih lo semua pada horor gini??”, katanya.

“Klo gue gak lulus, gue takut dimarahin emak + bapak. Klo gue kepleset dikit aja dari target nilai, gue takut pacar gue malu sama gue. Bisa diputusin, buset !!. Belum lagi pak Jamil –pak Kepsek-, lo kan tau sendiri dia galaknya ngalah-ngalahin nagabonar, serem oi !”.
”Kepala sekolah juga takut anak didiknya banyak yang gagal ujian, karena pak kepala sekolah bisa dimarahin Pak Walikota. Karena Pak Walikota juga kudu jaga gengsi di hadapan Pak Gubernur. Nah,,, Pak Gubernur keder sama wartawan, jangan-jangan dituduh tidak becus mengurus propinsi. Berhubung banyak orang takut dengan sebuah kegagalan, maka lebih baik mengerahkan segala cara sebagai jurus selamat. Urusan halal-haram???, Baek-buruk??, Etis, ga etis???... nomor sekianlah… sometimes like that, heh!”.

Mendengar penjelasan itu, Jo mafhum ujung pangkal semua ini. Nalar yang gampang sekaligus miris. Jo teringat pada guru taman kanak-kanaknya. Dulu, dia diajarkan tentang KEBERANIAN, TAAT ATURAN dan CITA-CITA SETINGGI LANGIT. Tapi kenapa bumi yang dia huni kini, tak lagi menyisakan tawa dan keberanian itu??.
“Ternyata sekolah cuma ketakutan kacangan”.

SIAL !!
5 menit lagi, kuncup ketakutan peserta ujian akan matang. Memekar. Jo mengambil lipatan kecil-kecil hasil contekan pertolongan ghaib-nya Intan.
Cukup sudah!
Gue muak !
Di remasnya kertas itu. Ada kejutan ??!. Jo mengudarakan kertas itu ke tong sampah. Membuang segala TAKUT yang lebih membuatnya mual ketimbang mencerdaskan.

“Jo, kok lo buang tuh contekan. Jangan sok alim deh..”
:”dasar bego lo. Manusia bodoh!”.

“Biarin aja deh gue bodoh, yang pasti gue bukan pengecut. Kalau pun gue gagal trus ngulang taon depan, anggap aja gue terlalu sayang sama sekolahan sampe gue ga tega ninggalin sekolahan cepat-cepat”, katanya sembarangan.

Garing lo !
Yang lain memandang Jo penuh heran. Ga biasa-biasanya anak bengal satu ini ngomong filosofis
“Maap aja deh,, masa gini aja lo Tempe”, Jo tergugu menantang, namun hatinya lempang.



Ku coba bertahan sekuat hati
Layaknya karang yang dihempasan ombak
( Ada Band, Manusia Bodoh )


By: -alga-
Harga diri bukan dilihat dari seringnya ANDA jatuh maupun GAGAL,
Tapi dilihat dari seberapa sering ANDA bangkit dari KETERPURUKAN.

Duka Ibunda

Kulihat airmatanya telah kering karena duka jiwa yang begitu dalam. Darah mengalir basahi raga karena luka begitu parah.
Kutanya padanya: "Ada apa gerangan?"
Dengan sisa-sisa tenaga dijawabnya:
"Apakah aku harus mati di tangan anak-anakku sendiri?, Anak-anak yang kulahirkan dari rahimku ini!!!. Mereka membiarkanku dicaci, diludahi, ditampar, diperkosa, dan tubuhku diseret dan disayat-sayat hingga darah tercecer mengalir dimana-mana, di Palestina, di Iraq, di Afghanistan, di Checnya, di Uzbekistan, di Kashmir, dan di berbagai belahan negeri!!!. Tapi anak-anakku hanya diam dan bahkan mereka rela menjadi para jongos musuh-musuhku itu, musuh-musuh mereka juga!!!. Padahal akulah yang melahirkan mereka, menyayangi, dan membesarkan mereka dengan kehangatan, dan kuberikan pakaian kejayaan, Khilafah Islamiyyah, pada mereka....."

Duhai ibunda, duhai Al-Islam, kan kukatakan pada anak-anakmu, kaum Muslimin:
"Bilakah kalian sadar?, Bunda kalian, Al-Islam, kini tengah dihina-dinakan oleh musuh-musuhnya, musuh-musuh kalian juga..... Apakah kalian rela bunda kalian ditelanjangi tanpa pakaian kejayaannya, Khilafah Islamiyyah, yang 13 abad memberikan kehangatan, kedamaian, kebesaran bagi kalian???. Pakaian yang juga pakaian kalian, yang kini sebenarnya kalianpun telanjang tanpanya..............tidakkah kalian malu???".

Duhai anak-anak Muslim, kembalilah pada ibunda kalian, Al-Islam, dan kenakan kembali pakaian kejayaan, Khilafah Islamiyyah, pada tubuh-tubuh kalian dan tubuh ibunda kalian hingga kejayaan dan kehangatan akan kembali pada kalian....

Rindukanlah itu.........
(4 all of myBrothers&SistersInISLAM:keep spirit tuk tegakkan
dinNya, kalo bukan Qt, anak-anak Islam, sapa lagi???).
[fr: abdillah_ana07@yahoo.co.id]

TAMAN-BUNGA

Jika ada yg berbicara tentang ,saya langsung teringat pada satu toko buku,lebih tepatnya sih perpustakaan di Jatinangor. Jatinangor….ah,kota kecil yg menyiratkan byk cerita.Menjadi satu tempat penuh makna yg rasanya sulit utk terhapus dr ingatan. Ketika saya main ke Jatinangor,saya sangat bersemangat mengHunting beberapa buku.Yang dlm pandangan hemat saya,sulit dicari di kota Medan.Seorang teman mengusulkan utk pergi ke .Sebagai pendatang,saya manut saja.Kaki ini dibimbing menapaki trotoar jalan Padjajaran memasuki etalase toko mulai dr sekedar lihat2 hingga borong buku gila2an.

Betis ini terasa pegal menyangga tubuh.Sembari menahan fatique asam laktat yg kian menuntut,pikiran saya melayang membayangkan yg blom juga kelihatan.
Ah…, pasti begitu penuh warna. Pikiran ini terus berfantasi sampai teman saya menyadarkan saya bhw kami sudah tiba di tempat tujuan.
……JREEENGG!!!!
“TEmpat apa ini…!!”, desis saya berbisik.
Pintu tempat itu tertutup, tidak ada tanda2 kehidupan. Bukan sekedar tidak ada kehidupan…yeah, tentu saja, ga ada taman bunganya. Tidak ada bunga terompet, melati, lidah buaya, rerumputan, harumnya bunga tahi ayam.
GA ada!!
Hanya ada sebuah kursi panjang –mungkin sbg ruang tunggu utk mns seperti saya-.
Di depan pintu tertulis TUTUP. Saya duduk di kursi itu. Sekedar melepas lelah dan jengah. Untuk kesekian kalinya, saya memandang keseliling. Beberapa buku di pajangkan di etalase toko. Om kumis ‘Che Guevara’ terpatri-ideologis di sudut kanan. Ada Filosofi Kopi-Dee. Saya tersenyum mengulas memory Rico de Coro dlm novel itu. Buku2 karangan Eko Prasetyo cukup menggiurkan utk saya nikmati siang ini. Dan beberapa buku kiri yg dlm pandangan saya cukup bagus utk reference.
‘Lebih baik aku cuma punya gubuk ketimbang tidak membaca buku’.
Seingat saya, begitu isi pamflet yg digantungkan di depan posisi duduk kala itu.
“Apa membaca membuat miskin..?!!”, Tanya saya sok kritis.teman saya angkat bahu.

…. Mana taman bunganya..
Rasa penasaran saya merasuk. Sekitar 30 menit saya duduk-tenang disana. Tetap setia menunggu barangkali tokonya terlambat dibuka krn sang empunya bangun kesiangan. But..arloji di tangan saya menunjukkan pukul 11 siang.Buset … kalo masih tidur!. Setelah hampir satu jam menunggu, saya pun nyerah.Satu harap saya … esok mereka lbh disiplin dari hari ini.dan mesti berpikir dua kali sebelum menamakan usaha seperti toko/perpustakaan/dan lainnya dgn pdhal ga ada taman bunganya.

Harus diakui..rasa penasaran saya belum terpuaskan. Kenapa namanya harus bukan yg lain.
Bukan toko buku serba-ada, atau juga toko buku-MILIK bersama.
Kenapa…kenapa…
Rasa itu terus saya simpan hingga raga ini meninggalkan Jatinangor tercinta…
Ahh…sesampainya di Medan, saya seakan mendapat penampakan dari filosofi itu.
Hmmm….

SEDIKIT ANALISIS
Mari saya ajak kamu ke wilayah pribadi saya yaitu pukul 23.00 atau 1 dini hari. Mari…saya welcome kali ini. Kamar saya –yg kata abang saya bisa main futsal di tempat tidur-memang penuh kejutan . Di atas meja belajar saya ada beberapa buku pinjaman dan koleksi pribadi, sekedar penghantar tidur. Dari perpustakaan kampus, saya meminjam buku hitam dgn tebal 466 halaman, berjudul ‘Aku Eks Tapol’.karya Hersri Setiawan .
Maka…
Saya seolah masuk ke jaman kegelapan Gelap untuk Para Pesakitan seperti pembesar Orde Baru. Konon, Para pesakitan ini seakan tertekan digerogoti penyakit Psikologis semacam Angst Psychose yaitu sejenis komunisto fobi, yg merasa tercekam dgn hal2 berbau komunis bahkan yg tak ada sangkutannya sama sekali.
Lalu…
Hiduplah seorang Suroto, tapol patugas dapur Tonwal, -dia ditugaskan membikin di halaman Wisma dan Unit. Suroto nurut saja. Toh bukan perkara besar. Mencangkul, membuat gulutan,mencari bibit…pokoknya seharian dibuat utk menggarap. Tiba2..lonceng apel berbunyi.WARNING!!.
Suroto dan teman2nya disuruh berkumpul. Semua staf unit dan Tonwal memandang suram para tapol. Tentu yg menyeamkan bukan hanya pandangannya tapi juga senjata yg bisa serta-merta meremukkan tubuh lisut mereka.
Suroto dipanggil maju, lalu ‘dikerjai’-‘seadanya’
‘Kamu tau salahmu, hah?’
‘Tidak!’jawAb Suroto.
Suroto kembali di bogem tak karuan. Merasa cukup puas, Suroto lalu dibawa ke bikinannya. Suroto disuruh mencari aibnya disana. Yeah….pokoknya alasan dia diberi pelajaran hari ini. Suroto tetap tidak mengerti.
‘Hitung gulutan itu ada berapa!’, bentak Mantri Tani, Gusgastan Unit.
Suroto mulai menghitung
‘Hmmm…tujuh pak.’
Mantri Tani murka: ‘nah,TUJUH!!’, kamu tau sekarang, apa itu bilangan tujuh’
Suroto dan 500 tapol lainnya membisu dlm ketidaktauan.
‘Tidak tau pak…’Suroto menjawab pasrah
Gagang bedil menghantam Suroto hingga Suroto terkapar. Beberapa tulang iga dan tulang punggung retak. Suroto cacat seumur hidup.
Untung saya bukan Suroto. Bisik saya dlm hati ketika membaca buku ‘Aku Eks Tapol’ ini.

Cerita kita lanjutkan….
Memangnya kenapa dgn angka TUJUH??!
Hayooo…kenapa coba?!.
Nah…ternyata bagi Angst Psychose, angka TUJUH begitu mencekam dan penuh konspirasi. TUJUH melambangkan pahlawan Revolusi, yaitu korban pertama peristiwa G30S 1965, begitulah menurut tafsiran logika Pembesar ORBA Kalau saya sih lebih teringat pada jaman es em pe dulu…maklum alumni es em pe TUJUH.

Yang menarik buat saya dan saya TERTARIK!!-----:
1. Angst Psychose
Betapa labilnya ‘sisi kemarahan’ org2 yg menderita penyakit ini. Kalau pembesar ORba terefleksikan pd komunifesto fobi. LAlu bagaimana dgn anda?, bagaimana dgn rekan sekitar kita?, bagaimana pembesar kita di Milinium ini?, bagaimanakah….
adakah terinfeksi virus serupa dgn modifikasinya. Anggaplah Perdana Menteri sekelas Tonny Blair atau Tuan Bush saya jadikan contoh…
Kalau boleh saya memberi nama, maka nama sindrom yg menjangkiti keduanya adalah semacam Islamo-R-Voution phobie yaitu suatu sindrom yg membuat para penderitanya begitu WasWas pada hal yg berbau Revolusi Putih dgn Islam.Islam Ideologis dan sejenisnya.alih-alih malah Islam itu sendiri.
Pantes aja PM Blair mengklaim ‘Islam-Ideologi’ sbg suatu Prinsip yg menyeRamkan/Ideologi Setan..
Saya rasa ini bukan satu klaim intelektual, melainkan suatu sepak terjang orang keSETANan Blair dan Bush emang rekan sejawat ini sadar betul bhw pemahaman Islam-Ideologis tertancap di setiap dada-kosongnya umat sedunia maka mereka akan mendapat pesaing yg berimbas keduanya hengkang dr daftar ORANG HEBAT.
Pesaing yg akan membuka kedok ‘pelecehan HAM umat sedunia’ atas invasi-politik and invasi-ekonomi menjadi terbongkar.
Pesaing yg menggagalkan misi AS utk ‘membutakan hati yg melek’.
PEsaing yg menghentikan ‘perang-saudara’yg sering dihembuskan AS&kroni2 dgn nafsu imperialisnya.
Waah…wah…ternyata Om Blair dan Tuan Bush takut bersaing ya.
Hai kawan….tidakkah mengasikkan sedikit menakut2i keduanya org macam mereka!!.

2. Yeah…satu kata ternyata begitu filosofis.
Mungkin akan selalu mengingatkan kita pada abnormalnya org2 yg dihantui rasa mencekam. Juga sekedar prihatin pada nasib yg menimpa seorang Suroto atas TUJUH gulutan yg dibuatnya di Jaman ORBA. Itu juga jika prediksi saya tidak meleset.PeRistiwa tak jauh pedihya dgn ‘lagu terlarang’ GENjer-Genjer. Satu lagi indikasi bagi penderita Angst Psychose.

OAAAAAHH….kenangan itu Harta yg Tak terbeli bukan?.
Saya Rindu pada Jatinangor….
Saya ingin kembali ke tempat itu dgn Filosofi yg akan lebih mengajak saya membelajari banyak hal.Hmm….tapi sungguh jauh lebih Rinduuuuuu…….akan Naungan BUNDA pd saya dan umat ini.
Satu Pengayom tempat berkeluh kesah. Bersikap Adil dan memanusiakan manusia. Pengayom yg telah dipancangkan oleh keGIGIHan RASUL dan Sahabat belasan Abad lalu. Saya harap saya Tak terlalu PEmimpi Sang Bunda akan Bersinar kembali. Menyapu Bid’ah, Penjajahan, Kemelaratan…yah..setidaknya MengEliminir oknum2 dgn Angst Psychose atau ISLAmo-R-Volution nya.

Buka TABIR harapan terINDAH kita
Karena manusia tanpa harapan rasanya HANYA se-onggok DAging yg hidup dgn tatapan kosong.
Mari wujudkan HArap Pinta itu…
Sebutlah nama NYA…Pinta PADANYA…
Karena setiap Do’a DIA kabulkan
Bismillah…

-alga-
jejak dlm suatu Konspirasi

TO: Ernest Lazzaro Slavindorchev,anda tak berhutang apa pun lagi, Saya hanya ingin anda menunggu atau mendongkrak saya menuju ‘And

Harun dan Mahluk dengan sebuah Misi

”Diperuntukkan untuk saudara kaum Muslimin yang mengharapkan hidup Mulia dalam NaunganNYA, dan merindukan Syahid dalam jeritan jiwa. Semoga kita termasuk golongan yang dimenangkan oleh ALLAH. Amin..., ya Rabb al-alamin.


“Hei kak, apa tidak sekarang saja?”.
”Tidak, jangan sekarang!, apa kau tidak lihat pemuda itu akan menyelesaikan raka’at tahajjud yang ke-8?!”.
“Memangnya kenapa?”.
“Huh!, dasar amatiran, di saat-saat begitu dia suka haus dan lapar tau?!, apa kau mau misi kita ketauan!”. Sang adik lagi-lagi menghembus nafas berat dengan ritme putus asa. Sedikit kecewa berada di posisi amatiran, seperti bunyi olok-olok sang kakak. Tapi, dia berbesar hati dan berbalik memfokuskan perhatian pada target sasaran mereka. Bagaimana pun dia adalah sosok terpilih oleh sang ratu. Sementara kebanyakan yang lain harus puas menjadi kelas pekerja di komunitas mereka.

Selama setahun ini, target sasaran mereka adalah si Harun. Pemuda kurus langsing yang memilih bunker pengap ini sebagai lahan perjuangan hidupnya. Sebenarnya bukan target sih, hanya saja, keberadaan si Harun menghalangi tujuan komunitas mereka.

“Apa kubilang, dia mengambil jatah kita. Iya kan, Sabil?”.
“Ya...”, kakak memanggilku Sabil.
Sabil!!. Entah sejak kapan aku akrab dipanggil begituan. Bisa jadi karena kakak sering memergoki si Harun bergumam ‘mujahid ya Fi Sabilillah’ ketika menyaksikan bayangannya di cermin retak yang tergantung di dinding.

Ya…, akulah Sabil. Tugasku cukup berat setelah temanku tewas di dimakan Rang-rang Pejantan dalam pagi yang memilukan. Setelah itu, akulah yang melanjutkan misi mengendap ini. Mengawasi Harun, memberi informasi pada komunitas lalu berpesta. Hmm, kasihan temanku itu, dia mati muda. Aahh, sudahlah!, bukankah tiap perjuangan mutlak ada pengorbanan?!.

Mengendap-endap, membangun kerajaan megah dengan seizinNYA, mengajarkan manusia macam si Harun, betapa hebatnya Tuhan kami; lalu memberi pelajaran agar manusia sadar akan kelemahannya. Sunguh, betapa tak berdayanya manusia sekalipun di hadapan makhluk seperti kami.

”Sudah yg ke-4”, kakak angkat bicara.
“Uuuhhh…..kenapa aku selalu kalah ’cerdas’ darinya?!”, kesalku.

“Apanya kak?”, tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran walaupun sebenarnya malu.
“Si Harun itu, dia menuntaskan kalam Rabbnya untuk yang ke-empat kalinya setahun ini. Aku akan menjadi pembelanya di akhirat nanti”.
“Hmm, kau lihat matanya Sabil?!, mata yang sembab karena takut akan azab Tuhannya. Saksikan juga sudut bibirnya. Sudut penuh makna yang mengharapkan pertemuan terindah ketika ArsyNya dipersilakan baginya”.
”Ya kak, aku juga melihatnya dan aku pun akan menjadi saksi atas ketaatannya”.


Lama kami memperhatikan gerak-gerik si harun dari pagi-siang-malam lalu pagi lagi. Kadang-kadang kami kelelahan. Kami sadar, di penghujung malam seperti ini biasanya kami bisa mencuri kesempatan kala Harun tak lagi segarang singa di siang harinya. Justru mirip rahib yang senantiasa berkhalwat dengan Pencipta.

“Ah..., sial!”, pekik kakak kesal.
Tak pernah kusaksikan kakak sekesal itu sebelumnya. Aku tak banyak tanya. Dari posisi duduk menghadap kiblat, Harun bergegas menuju meja kerja yang diatasnya ada reward kami. Aku bisa memahami betapa kesalnya kakak tadi. Itu artinya, kami harus menunggu labih lama sampai si Harun beranjak dari tempat itu. Sementara ribuan kelas pekerja di sarang kami, sedang menunggu komando dari kami. Bersiap-siap menginvasi target. Cukup dengan 2 antena di kepala, yang kami andalkan.

”Ayolah Harun, cepat kau pergi dari Bunker yang pengap ini!”.
Harun merobek selembar kertas dan meraih sebatang pena usang lalu mulai menulis sambil terus bergumam apa yang dirangkaikannya disana.

“Assalamu’alaikum Warahmatullah”.
Dari bilik bawah tanah yang remang-remang ini, aku mendengar panggilan dari Kesatria Langit, dari Para Bidadari, dari anakku –Hasan- yang kuserahkan pada Rabbku.
Membayangkan kemudahan langkah atas wanita yang mengerti aku -Aisyah-,
merasakan rangkulan dari sahabat yang telah lebih dahulu meraih syahid.
Merindukan anak-anak tangga menuju RidhoNYA.
Telah tiba waktunya.
Mantap sudah segala rencana.
Telah ku-persiapkan generasi penerus Jihad.
Ku-asah sudah apa yang seharusnya.

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Alam Nasyrah yang ku-hujamkan di aliran darahku.
Kujaga itu.
Aku pasrahkan bagian terpenting hidupku.
Jiwa!!.

Sakali lagi kawan,
Telah tiba waktunya.

Selamat datang Syahidku!!.

Wassalam
-Harun al Mustanir-

Pena diletakkan di atas kertas terbuka itu. Tangan harun dituntun menuju bilik kecil mengambil jas khususnya. Jas yang akan mengantarnya syahid. Syahid di tanah yang ditujunya. Tepi Barat!. Tanah yang dihinggapi burung-burung besi Israel-Zionis yang menjatuhkan bola-bola api kepada rakyat sipil yang tak berdosa. Harun menangkap photo wanita dan anak lelaki semata wayangnya. Tersenyum!.

“Aku datang sayang, tunggu aku ya!!”, Harun berkata dalam hatinya.

Harun bergegas keluar bunker dengan langkah penuh keyakinan. Sekilas mata Harun menangkap roti kismis di atas mejanya. Roti kismis harum yang masih sempat-sempatnya di kirimkan rekan-rekan pejuang untuknya selama penantian.

”Indahnya ikatan aqidah ini”, pikirnya.

Harun merobek roti kismis yang tinggal satu-satunya itu menjadi 2 bagian. Meninggalkan sebagian potongan yang lain.

”Rabb, jikalau aku sempat melahapnya hingga siang nanti, sungguh, itu umur yang lama sekali bagiku”, ia berkata seraya memasukkan sisa potongan yang satu lagi ke saku kanannya. Harun pun pergi. Bunker itu kini sunyi.

“Hei, kak!!, ini saatnya…”, sabil memberi kode melalui antena di kepalanya pada sang kakak.

Roti kismis, sebagai target sasaran diinilai aman. Informasi berantai di jalankan. Koloni semut, yang jadi teman-taman Sabil berdatangan. Sabil dianggap sukses menjalankan misinya. Semut-semut itu mondar-mandir di atas meja menuju sarang di balik Bunker.

”Sabil, misi kita sukses”, teriak sang kakak kepada sabil. Ternyata antena kakak lebih panjang dibanding Sabil. Pantas lebih ulet. Hmm, mungkin begitu.

”Ya kak, kita dapat panen dari hasil kerja keras kita. Huhuuiiiii…!!”.

“Selamat makan!!”.

Wassalam.
Alga [Medan].

Harun dan Mahluk dengan sebuah Misi

”Diperuntukkan untuk saudara kaum Muslimin yang mengharapkan hidup Mulia dalam NaunganNYA, dan merindukan Syahid dalam jeritan jiwa. Semoga kita termasuk golongan yang dimenangkan oleh ALLAH. Amin..., ya Rabb al-alamin.


“Hei kak, apa tidak sekarang saja?”.
”Tidak, jangan sekarang!, apa kau tidak lihat pemuda itu akan menyelesaikan raka’at tahajjud yang ke-8?!”.
“Memangnya kenapa?”.
“Huh!, dasar amatiran, di saat-saat begitu dia suka haus dan lapar tau?!, apa kau mau misi kita ketauan!”. Sang adik lagi-lagi menghembus nafas berat dengan ritme putus asa. Sedikit kecewa berada di posisi amatiran, seperti bunyi olok-olok sang kakak. Tapi, dia berbesar hati dan berbalik memfokuskan perhatian pada target sasaran mereka. Bagaimana pun dia adalah sosok terpilih oleh sang ratu. Sementara kebanyakan yang lain harus puas menjadi kelas pekerja di komunitas mereka.

Selama setahun ini, target sasaran mereka adalah si Harun. Pemuda kurus langsing yang memilih bunker pengap ini sebagai lahan perjuangan hidupnya. Sebenarnya bukan target sih, hanya saja, keberadaan si Harun menghalangi tujuan komunitas mereka.

“Apa kubilang, dia mengambil jatah kita. Iya kan, Sabil?”.
“Ya...”, kakak memanggilku Sabil.
Sabil!!. Entah sejak kapan aku akrab dipanggil begituan. Bisa jadi karena kakak sering memergoki si Harun bergumam ‘mujahid ya Fi Sabilillah’ ketika menyaksikan bayangannya di cermin retak yang tergantung di dinding.

Ya…, akulah Sabil. Tugasku cukup berat setelah temanku tewas di dimakan Rang-rang Pejantan dalam pagi yang memilukan. Setelah itu, akulah yang melanjutkan misi mengendap ini. Mengawasi Harun, memberi informasi pada komunitas lalu berpesta. Hmm, kasihan temanku itu, dia mati muda. Aahh, sudahlah!, bukankah tiap perjuangan mutlak ada pengorbanan?!.

Mengendap-endap, membangun kerajaan megah dengan seizinNYA, mengajarkan manusia macam si Harun, betapa hebatnya Tuhan kami; lalu memberi pelajaran agar manusia sadar akan kelemahannya. Sunguh, betapa tak berdayanya manusia sekalipun di hadapan makhluk seperti kami.

”Sudah yg ke-4”, kakak angkat bicara.
“Uuuhhh…..kenapa aku selalu kalah ’cerdas’ darinya?!”, kesalku.

“Apanya kak?”, tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran walaupun sebenarnya malu.
“Si Harun itu, dia menuntaskan kalam Rabbnya untuk yang ke-empat kalinya setahun ini. Aku akan menjadi pembelanya di akhirat nanti”.
“Hmm, kau lihat matanya Sabil?!, mata yang sembab karena takut akan azab Tuhannya. Saksikan juga sudut bibirnya. Sudut penuh makna yang mengharapkan pertemuan terindah ketika ArsyNya dipersilakan baginya”.
”Ya kak, aku juga melihatnya dan aku pun akan menjadi saksi atas ketaatannya”.


Lama kami memperhatikan gerak-gerik si harun dari pagi-siang-malam lalu pagi lagi. Kadang-kadang kami kelelahan. Kami sadar, di penghujung malam seperti ini biasanya kami bisa mencuri kesempatan kala Harun tak lagi segarang singa di siang harinya. Justru mirip rahib yang senantiasa berkhalwat dengan Pencipta.

“Ah..., sial!”, pekik kakak kesal.
Tak pernah kusaksikan kakak sekesal itu sebelumnya. Aku tak banyak tanya. Dari posisi duduk menghadap kiblat, Harun bergegas menuju meja kerja yang diatasnya ada reward kami. Aku bisa memahami betapa kesalnya kakak tadi. Itu artinya, kami harus menunggu labih lama sampai si Harun beranjak dari tempat itu. Sementara ribuan kelas pekerja di sarang kami, sedang menunggu komando dari kami. Bersiap-siap menginvasi target. Cukup dengan 2 antena di kepala, yang kami andalkan.

”Ayolah Harun, cepat kau pergi dari Bunker yang pengap ini!”.
Harun merobek selembar kertas dan meraih sebatang pena usang lalu mulai menulis sambil terus bergumam apa yang dirangkaikannya disana.

“Assalamu’alaikum Warahmatullah”.
Dari bilik bawah tanah yang remang-remang ini, aku mendengar panggilan dari Kesatria Langit, dari Para Bidadari, dari anakku –Hasan- yang kuserahkan pada Rabbku.
Membayangkan kemudahan langkah atas wanita yang mengerti aku -Aisyah-,
merasakan rangkulan dari sahabat yang telah lebih dahulu meraih syahid.
Merindukan anak-anak tangga menuju RidhoNYA.
Telah tiba waktunya.
Mantap sudah segala rencana.
Telah ku-persiapkan generasi penerus Jihad.
Ku-asah sudah apa yang seharusnya.

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Alam Nasyrah yang ku-hujamkan di aliran darahku.
Kujaga itu.
Aku pasrahkan bagian terpenting hidupku.
Jiwa!!.

Sakali lagi kawan,
Telah tiba waktunya.

Selamat datang Syahidku!!.

Wassalam
-Harun al Mustanir-

Pena diletakkan di atas kertas terbuka itu. Tangan harun dituntun menuju bilik kecil mengambil jas khususnya. Jas yang akan mengantarnya syahid. Syahid di tanah yang ditujunya. Tepi Barat!. Tanah yang dihinggapi burung-burung besi Israel-Zionis yang menjatuhkan bola-bola api kepada rakyat sipil yang tak berdosa. Harun menangkap photo wanita dan anak lelaki semata wayangnya. Tersenyum!.

“Aku datang sayang, tunggu aku ya!!”, Harun berkata dalam hatinya.

Harun bergegas keluar bunker dengan langkah penuh keyakinan. Sekilas mata Harun menangkap roti kismis di atas mejanya. Roti kismis harum yang masih sempat-sempatnya di kirimkan rekan-rekan pejuang untuknya selama penantian.

”Indahnya ikatan aqidah ini”, pikirnya.

Harun merobek roti kismis yang tinggal satu-satunya itu menjadi 2 bagian. Meninggalkan sebagian potongan yang lain.

”Rabb, jikalau aku sempat melahapnya hingga siang nanti, sungguh, itu umur yang lama sekali bagiku”, ia berkata seraya memasukkan sisa potongan yang satu lagi ke saku kanannya. Harun pun pergi. Bunker itu kini sunyi.

“Hei, kak!!, ini saatnya…”, sabil memberi kode melalui antena di kepalanya pada sang kakak.

Roti kismis, sebagai target sasaran diinilai aman. Informasi berantai di jalankan. Koloni semut, yang jadi teman-taman Sabil berdatangan. Sabil dianggap sukses menjalankan misinya. Semut-semut itu mondar-mandir di atas meja menuju sarang di balik Bunker.

”Sabil, misi kita sukses”, teriak sang kakak kepada sabil. Ternyata antena kakak lebih panjang dibanding Sabil. Pantas lebih ulet. Hmm, mungkin begitu.

”Ya kak, kita dapat panen dari hasil kerja keras kita. Huhuuiiiii…!!”.

“Selamat makan!!”.

Wassalam.
Alga [Medan].

Syndrom Putih Abu-Abu

“Eh, Yin gimana nih?, lulus ga?”
“Lulus dong... oh iya, kamu dikelas X berapa?, kalo aku di kelas X.1”
“Kalo aku sih di kelas X.5. Baru kali ini kita pisah kelas ya?”
“Iya. Aneh juga ya rasanya. Tapi semoga ini ga meregangkan persahabatan kita ya San...!”
“Otomatiiis!, Ga ada yang bisa misahin persahabatan kita. Janji?”
“Janji!”, aku mengatakannya dengan yakin.

Aku dan Santi sudah bersahabat sejak SMP. Ia adalah sahabat yang sangat aku percayai. Hanya dengannya aku membagi keluh kesahku. Adalah suatu kebahagiaan bisa bersahabat dengannya. Dia adalah sahabat yang paling pengertian. Dia juga punya nama spesial buat aku, Ayin. Hanya dia yang aku bolehin manggil aku dengan sebutan itu.
*****
“Hai San...dari tadi aku nungguin kamu lho!, ngantin yuuk!”
“Siapa takut!. Aku juga dah laper banget nih. Sori ya dah buat kamu nunggu. Tadi aku ada keperluan ma Lulu cs, teman sekelasku. Jadi agak lama deh...!”
“Halah!, sok sungkan!, ga pa-pa lagi, San. Nyante ajah”
“Gimana?, kenalanmu di kelas udah banyak blon?”
“Ya...lumayanlah. Tapi ga sebanyak temanmu. Oh iya, aku punya satu teman di kelas, cantik dan ramah sih. Tapi aku ga suka ma dia.”
“Lho mang napa, Yin?”

“Dia aneh. Dia sih sering ngajak aku ngobrol. Tapi aku selalu ngehindar. Pokoknya, aku ga suka ma dia. Bawel!!”
“Ya udahlah Yin, gak usah emosi gitu kalee!”
*****

“Itu kan Santi. Jalan sama siapa ya dia?”
“Santi...!!, San...!!!”, Aku berteriak sekeras mungkin dan akhirnya usahaku tidak sisa-sia.
“Kamu ngapain di sini Rin?. Jalan ke Mall kok sendirian. Ga da yang mo nemenin yah?, kaciaaaan.... gaul dikit napa?”

Rin?, dia manggil aku dengan sebutan “Rin”?. Akh!, pasti aku salah dengar. Tapi bahasa itu... terlalu pahit rasanya.“San, kamu apa-apaan sih?, ngomongnya kok gitu amat?, kamu gak sakit kan?”

Aku mencoba mengoreksinya dengan setengah berbisik. Sulit ku percaya memang kalo yang barusan mengeluarkan bahasa sesinis itu adalah Santi. Sahabatku yang aku cintai dengan sangat.
“Napa?, kamu takut ya kedengaran ma yang laen?. Argh!, udahlah Rin. Aku dah capek tau gak?. Capek banget temenan ma kamu akhir-akhir ini. Kamu tuh kaku saat kamu dapet temen barumu yang dulunya kamu bilang kamu gak suka itu. Buktinya mana?, kamu gak setia kawan, Rin. Aku kecewa ma kamu!, kayaknya terlalu sulit bagiku untuk temenan lagi ma kamu. Sori!, kita dah gak cocok!! .... yuuk! Mending kita jalan lagi. Aku muak di sini”.

Santi menggandeng temen-temen barunya yang sejak tadi hanya mampu terdiam melihat arogansi yang dilakoni oleh sahabatku, bagian dari hidupku, Santi. Allah... aku masih tetap menyayanginya. Ingin sekali aku memeluknya erat. Hahhh...! Hampir 2 menit kedua kaki ini tak bisa ku gerakkan dengan nafasku yang terasa begitu sesak memenuhi dada. Santi, aku tak siap kehilanganmu...
*****
“Assalamualaikum Rin!”
“Wa alaikum salam. Eh, Nita!”
“Jam istirahat kok bengong! Ga ngantin nich sama sahabatmu, si....”
“Santi?!”
“yup!”
”Aku kayaknya telah kehilangan dia. Ga akan ada lagi tempatku tuk mengadu segala keluh kesahku.” Huaa...huaaa...!.
“Nih!”, sambil menyodorkan tissue ke arahku.
“Ga usah sesedih itu. Blon tentu juga kamu kehilangan dia. Calm down lah”

“Makasih Nit. Kamu baik sekali. Padahal selama ini aku banyak jahatin kamu lho...!”
“Iya. Ga pa-palah. Tapi Rin...kenapa jadi tiba-tiba gitu?, yang aku tahu nih ya, hubungan kalian selama ini ayem-ayem aja kok. Kok jadi tiba-tiba kaya kucing dan tikus gitu sih, Rin?. Tapi ingat satu hal Rin, sebaik-baik tempat tuk mengadu itu hanya sama Allah lho. Jadi kamu ga boleh tergantung ama orang laen gitu...!”
“Maafin aku ya Nit. Dah banyak buat kamu susah.”
“Yap...sama-samalah. Kitakan temen :-)”
*****

Selanjutnya hari-hariku banyak ku habiskan bersama Nita. Entah apa yang ada di pikiranku. Setiap penjelasan dan argumentasi yang meluncur tajam dari mulutnya langsung menancap erat dikepalaku. Indah sekali ketika dia menjelaskan posisi Allah sebagai Pencipta sekaligus Pengatur. Menarik sekali ketika dia menggambarkan keindahan surga yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang akrab dan mengikatkan diri dengan Sang Maha Raja, Allah. Damai sekali persaudaraan ini. Harus aku akui bahwa tidak pernah ku merasakan hal ini sebelumnya dengan siapapun. Nita benar-benar membuatku tergila-gila pada Islam. Keberanian mulai ku himpun untuk meyakinkan keluarga dan diri sendiri bahwa Tubuh ini harus ku hijabi segera dengan sempurna dengan sepasang jilbab dan khimar/kerudung. Penentangan tak bisa terelakkan. Mama dan keluarga besar menodongkan pilihan yang terlalu sulit bagiku. Jika aku berjilbab dan ikut pengajian maka aku harus melupakan bahwa aku memiliki keluarga. Aku adalah angka NOL yang terbuang. Sahabatku, guru-guruku, teman sekelasku kecuali Nita, mereka semua menentang bahkan mengunciku dalam pasungan pengucilan. Aku bersedia menukarkan nyawaku dengan apapun asal mama bahagia. Tapi... aku kini sadari bahwa tidak ada ketaatan mutlak kecuali pada Allah. Aku tidak menyalahkan mereka sepenuhnya. Karena mereka adalah korban dari sistem borokokok kapitalisme!. Aku tidak akan pernah melacurkan keyakinanku dengan apapun. Termasuk Mama. Aku harus mencari part-time job untuk bisa tetap hidup dan membela Islam, yang menjadi ideologi dan kebanggaanku.
*****

“Nita, temenin aku nemuin Santi yah?”
“Boleh. Kapan?”
“Ya lebih cepat lebih baik. Kalo hari ni aja gimana?”
“Kita ke kelasnya aja kalo gitu. Pasti sekarang lagi ngobrol ma Lulu cs di kelas. Yuuk!”

Nita benar. Dia ma temen-temennya lagi mojok sambil nyanyi bareng.
“San...!, bisa ngobrol bentar gak?, ada hal yang harus aku jelasin ke kamu. Tentang hubungan kita. Persahabatan kita San...”
“Penjelasan?, mo jelasin apa lagi?, persahabatan kita dah selesai. Lagian kamu kan dah punya dia sebagai sahabatmu yang dulu kamu bilangin bawel itu!”
“Plis, San!, jangan gitu dong. Aku kan sahabatmu!, jangan perlakuin aku kayak gini.”
“Napa?, sakit yah?, kaciaaan... tapi lebih sakit aku Rin!. Kamu dah ngianatin semuanya. Kamu tuh penghianat. Sori, aku ga mood bicara ma penghianat!. Permisi.”
“San...tunggu!, kamu banyak berubah.”
“Kamu yang berubah Arin!”
“Aku ga tahu jalan pikiranmu. Aku harus ngelakuin apa San, biar kamu mo tetap jadi sahabat aku?. Aku tuh sayang ma kamu”, aku tak kuasa lagi membendung cairan hangat untuk keluar menghantam jeruji mataku.
“Tinggalin semua gaya hidup kamu yang kampungan ini. Baju longgar yang jadul itu, kerudungmu, teman barumu ini (sambil melirik sinis ke arah Nita) dan juga semuanya!. Gimana?”
“Masya Allah San... itu gak...”
“Apa?, gak mungkin?. Ya udah. Itu berarti kamu dah nentuin pilihan. Nih aku kembaliin kalungnya. Photo aku dah aku keluarin dari situ. Selamat tinggal... Ayin!”

Hahh..Robbiy, persatukan kami di jalan-Mu. Aku menyayanginya karena-Mu. Maka dekatkanlah cahaya petunjuk-Mu padanya. Aku ingin bersamanya di jalan ini.
*****
Sudah setahun berjalan. Hari ini aku sudah 2 bulan duduk di kelas XI. Dan selama itu pula aku tidak pernah melihat Santi, belahan jiwaku. Aku merindukannya dengan sangat. Aku dengan cita-cita baruku yang semakin jelas terpampang di depan mataku. Memasyaratkan Islam dan meng-Islam-kan masyarakat disekolah.
“Assalamu’alaykum...”
“Wa’alaykumsalam. Nita?”
“Kok bengong. Mikirin proker Rohis yang mulai dihalangi ma guru-guru yah?”
Aku memilih diam. Itu salah satunya alasan yang membuat otakku terus berputar.
“Santi... kamu dimana?”, gumamku.
“Oia, ni da surat buat kamu. Aku tinggal dulu yah. Ga usah dibawa stress. Innallaha maa anti :-). Assalamualaykum...”
“Wa’alaykumsalam..”

Dear Ayinku sayang...
Ketika kamu membaca surat ini, aku sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik. Aku telah kehilangan banyak hal dari diriku. Dan yang paling utama adalah kamu Yin. Kamu yang dulu
selalu bersamaku dalam keadaan ups and downs. Kamu yang telah aku sakitin berkali-kali secara sengaja. Kamu yang dulunya selalu kuhapus airmatamu yang kemudian selalu ku tumpahkan dengan tanpa sedikitpun belas kasih. Yin, aku baru sadari bahwa kau terlalu berharga buat disakitin. Kamu terlalu istimewa. Kata maaf tidak akan sanggup menyelesaikan semuanya. Aku telah meninggalkanmu dengan cara yang menyakitkan hanya demi mereka yang mengaku sahabat. Tapi mereka tidak seperti kamu. Mereka tidak ada saat aku ingin mereka ada. Aku tidak peduli dengan ragaku yang menunjukkan kerapuhannya dari hari ke hari. Kanker hati Yin. Kata Nita, Allah sedang mengujiku dengan cara-Nya. Nita selama ini yang terus menghiburku dan menceritakan semuanya. Aku yang melarang Nita untuk bilang semua ini ke kamu. Kini aku juga punya cita-cita baru. Jika Allah memberiku sedikit saja kesempatan, maka aku akan bersama kalian berteriak lantang untuk menegakkan kebenaran Islam. Nita memang pandai untuk membuat orang jatuh cinta pada Islam. Aku mencintaimu Ayin-ku. Aku mencintaimu dengan segenap kemampuanku. Oia, tolong berikan kembali kalungnya yah, aku akan simpan kebali gambarku didalamnya. Jangan lupa yah.
Wassalam.

“Ya Allah... terimakasih Engkau telah mengabulkan doaku. Rangkullah dia. Persatukan kami dalam jalan dakwah yang penuh onak ini...”

Tak pelak lagi, luapan emosi tak mampu ku bendung. Aku bersorak, takbir sekeras-kerasnya sambil melompat. Tas yang menggantung di bahu kiriku putus karena harus menaham beban beratnya ditambah lagi dengan lompatan girangku. Aku tersadar saat semua isi tasku berhamburan. Teman-teman di sekeliling tersenyum geli. Aku tak peduli. Aku langsung memungut sesuatu yang sangat berharga. Kalung. Kalung hati yang pernah dikembaliin Santi. Yup!, akan ku kembalikan padanya. Hari ini juga. Hari ini juga ya Robb. Aku ingin segera menemuinya dan mendekapnya erat. Santiiii...!!!.
“Tuut...!, tuut...!”, Ha-pe bututku menghentikan sorakanku. Pesan dari Nita.
Aww. Rin, aku hrp kau tbah mdngar ni. Santi dah pergi menemui Sang Maha Perkasa.Dia dah lebih dulu mengakhiri semuanya. Isbit ya ukhti. Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rojiun.

Butiran bening di pipi ku biarkan mengalir begitu saja. Aku sama sekali tak ingin mempedulikannya. Ya Allah, kalau ini memang sudah keputusan-Mu, berilah keihklasan padaku untuk menerimanya. Maafkanlah ia ya Allah. Sahabatku yang telah banyak melupakan-Mu. Tapi Engkau maha mengetahui. Dia telah memiliki keinginan besar untuk berbalik ke agama-Mu yang agung dan mau memperjuangkannya. Kasihanilah dia ya Rahman.

Santi... kau di depanku kini. Kau terlihat begitu lemah tak berdaya. Wajahmu pucat pasih. Terlintas lagi semua kenangan indah kita. Apa kau juga begitu San?. Aku ingin melihat senyummu, wajahmu yang cemberut ketika ngambek karena permen kesayanganmu aku makan, dan segala tingkah jahilmu lagi. Aku merindukanmu Santi... sangat!. Tahukah kamu?.
Air mata yang berjatuhan ini, bukan karena aku sedih kau tinggalkan, tapi aku sedih kita tidak bisa bersama-sama untuk berjuang di jalan Allah. Sebagaimana cita-citamu jika Allah memberikan sedikit lagi kesempatan padamu. Tapi Allah terlalu tangguh untuk kita lawan. Maafkan aku San yang tega membiarkanmu... Kau tetap menjadi sahabatku yang sangat aku sayangi. Selamat jalan Santi...semoga Allah merangkulmu dengan segenap kasih sayang. Semoga!. Perjalanan panjang telah berakhir. Kau kini menungguku di pertigaan plang, antara Dunia, Surga dan Neraka.


[nahra] : kendari.
Tulisan ini ku persembahkan
untuk semua teman-teman yang
hingga saat ini masih
memperTuhankan hawa nafsu
dan dunia.
Thanks for inspiration..:-).

MENULIS ITU APA ?

Oleh: Divan Semesta


Menulis itu apa?.
Menulis adalah ekskresi: adalah mengeluarkan banyak khayalan yang ada di dalam diri, didalam angan supaya kondisi kita kembali normal adanya. Ini benar logh! Mari kita sederhanakan. Ekskresi muncul karena input. Kita makan maka keluarlah itu ampas melalui keringat, --melalui sesuatu yang saya tidak tega menyebutkannya. Ketika kita ditempa sekian banyak informasi yang datang, input itu mau kita apakan?. Dibiarkan menjejal dikepala?. Kalau sesudah makan kita nggak ekskresi, badan bakal jadi septictank yang berjalan. Kita pasti kesakitan.

Kalau kita sudah melahap informasi –atau dipaksa memakannya--, kejadiannya bakal sama. Pening kepala ini kalau tidak segera mengeluarkannya. Itulah mengapa saya bilang menulis itu ekskresi sebab menulis –bukan saja-- terkait dengan kesehatan tubuh melainkan –kesehatan-- mental juga.

Menulis bisa di analogikan dengan apa saja, --sekena yang kita mau. Kalau bermusik adalah seni melukis dengan nada, melukis adalah seni ekspresi menggunakan kanvas, maka menulis itu apa? Menulis itu merupakan seni melukis dengan kata. Melaluinya kita dapat mengekspresikan kegundah-gulanaan mengenai fenomena; mendeskripsikan khayalan-khayalan absurd didalamnya; dan merekonstruksi/membangun dunia yang ada di dalam benak manusia.

Dalam kaitannya dengan hal yang terakhir, seorang filsuf China pernah mengatakan bahwa, dengan menulis kita dapat menurunkan bulan yang ada di atas angkasa menuju dunia manusia.
Meski terlalu berlebihan, saya meng-akur-kan pernyatan filsuf itu.
Mudah-mudahan kamu mengerti tentang ini .
Nah setelah bicarakan perumpamaan menulis yang kurang serius. Sekarang saya akan memaparkan usaha menulis menurut pandangan saya pribadi.

Menulis itu apa?.
Bagi saya, menulis adalah usaha untuk masuk ke dalam. Menulis adalah memasuki jiwa untuk memecahkan misteri diri --kita-- selaku manusia. Menulis adalah kegiatan meneropong neumena (hikmah) yang ada dibalik fenomena. Ada sebuah cerita pendek mahsyur, yang bakal menjelaskan bagaimana kegiatan menulis dapat menjadi kegiatan meneropong neumena. Ceritanya begini:

Suatu saat seorang pemuda kebingungan mencari kunci di beranda rumahnya. Setelah sejam dua jam –pabaliut-- mencari dan tidak menemukan kunci, seseorang bertanya padanya.
“Dimana kau jatuhkan kunci itu?”
Sambil garuk-garuk giginya (?) si pemuda berkata, “Saya jatuhkan di dalam rumah.”
“Aneh-aneh saja kau ini!. Kalau terjatuh di dalam rumah kenapa mencarinya di beranda?”
Dengan mimik lugu, pemuda itu bilang.
“Abisnya di dalam gelap, sedangkan diluar terang!”

Cerita itu begitu membekas di dalam diri. Saya menganggap bahwa orang yang--yang menulis cerita tersebut—adalah manusia yang senantiasa meneropong pendalaman dirinya. Ia menemukan bahwa manusia selalu, mencari jawaban diluar jiwa. Manusia senantiasa takut untuk mengeksplorasi, padahal diri manusia kaya akan segala macam jawaban mengenai kehidupan. Manusia takut untuk ‘mengekskavasi’, padahal di dalam diri manusia terdapat penyembuh bagi kesakitan jiwa; padahal di dalam jiwa terdapat antibodi yang bakal menyembuhkan kegelisahan --yang jika dibiarkan dapat menyebabkan manusia jadi penghuni tetap ... rumah sakit jiwa.

Menulis berarti menguak berbagai macam penyadaran. Menulis berarti membedah dan menemukan diri menggunakan teropong neumena. Seandainya neumena ditemukan maka –penemuan-- itu akan memperkuat penghambaan diri seseorang pada-Allah-nya.

Dengan menulis saya –senantiasa--, berusaha --dalam dosa dan pahala-- untuk menghadirkan diri, sebaik-baiknya dihadapan Dia... dihadapan Allah selaku pemilik saya.

Menulis itu apa?.
Bagi saya, menulis adalah kegiatan melawan. Saat menulis dalam diri saya tumbuh kesadaran bahwa das sein tidak sesuai dengan das sollen, bahwa realita tidak sesuai dengan bayangan di dalam benak. Dengan menulis saya menyadari bahwa realitas sosial, tidak sesuai dengan kemanusiaan. Saya menyadari bahwa banyak anak manusia, mati karena negara tidak memberikan jaminan kehidupan untuknya. Saya menyadari bahwa banyak ketimpangan terjadi; menyadari bahwa banyak dari kalangan kita, yang dizalimi ... maka –disanalah-- menulis menjadi sebuah alat untuk mengembangbiakan ‘subversivisme’. Maka untuk itulah saya berharap, kalian mau menulis dan menjadikan realitas sosial sebagai pemantik untuk mengkabarkan kebobrokan dan penindasan sistemik yang nyata dan merajalela.

Ayo ...Jadikanlah tulisan sebagai lambang keterjijikan diri pada sistem bobrok yang menghegemoni ini. Ayo muntahkan!. Ayo ... Jadikanlah realitas sosial sebagai detonator jiwa. Ayo ledakan... sebab menulis adalah berkata-kata, sebab berkata-kata adalah: SENJATA!*.

Lantas, gimana jadi Penulis Hebat?

Nah, sekarang kita bicara bagaimana caranya jadi penulis hebat. Gimana caranya?, saya juga tidak tahu karena saya jarang merasa hebat. Lagipula hebat itu kan relatif. Kehebatan menurut kamu –mungkin-- berbeda dengan kehebatan saya.

Kamu --mungkin—menganggap bahwa penulis terhebat di Indonesia itu adalah Dee Supernova, Djenar Maesa, atau Helvy Tiana. Namun, bagi saya, penulis terhebat adalah Pramudya*. Itulah, mengapa –saat ini-- saya jadi kesulitan membuat tips untuk menjadi penulis hebat (karena saya merasa seperti Liliput di hadapan ke-Gulliveran-nya dia*.). Tapi baiklah, karena saya harus profesional mengisi acara ini, maka saya bisa berpura-pura, melakonkan diri jadi penulis hebat, dan kamu pun jangan lupa, untuk membayangkannya.

Bagaimana caranya menjadi penulis hebat?.

Hm ... saya bisa menyelesaikan bahasan ini hanya dengan satu kata, yakni, menulislah!.
“Ah, kamu mah nge-bete-in aja.”
“Lha mau gimana lagi?. Ya satu-satunya cara cuma begitu. Nulis itu kan sama aja dengan naek sepeda, berenang atau maen bilyar. Kalau mau bisa jadi penulis hebat praktek!. Jalani proses penulisan. Jangan menyerah.”
“Kalo jawabannya cuman gitu doang, saya jadi nyesel ngundang kamu!. Perasaan dalam pelatihan-pelatihan penulisan, sarannya nggak gitu doang deh. Jangan menyesatkan saya dong ah!”
“Ye, dibilang nggak percaya. Nih saya kasih tau. Begini ... meski kamu ikut pelatihan dua ribu kali sama Ustad Roy, kamu tetep nggak akan jadi penulis hebat, kalau kamu nggak menulis. Fungsi pelatihan penulisan itu sebenarnya bukan apa-apa selain memotivasi, supaya kamu mau nulis, dan mau menjalani proses untuk menjadi penulis hebat.”
“Perasaan nggak gitu-gitu amat. Seingat saya, kalau mau jadi penulis hebat, harus baca buku.”
“Nah itu tau, tapi apa baca buku itu menulis?. Baca buku ya baca buku!. Bukan menulis!.”
“Tapi, bukannya dari membaca, kita bisa dapat inspirasi..., dapet pemantik seperti yang kamu bilang diatas tadi.”
“O, nanya tentang inspirasi toh?. Okey saya kasih tau. Siap mendengarkan?.”
“Siap!.”
***

Banyak orang yang ingin menulis tetapi tak mendapat inpirasi. Dia menunggu-nunggu inspirasi seolah-olah inspirasi adalah bayi yang bakal jatuh dari paruh bangau. Tidak-tidak!. Jangan seperti itu, jangan menunggu, seolah-olah inspirasi akan datang langsung begitu saja. Undanglah inspirasi datang. Pancinglah dia!

Bagaimana cara memancingnya?.

Ada banyak cara, misalnya dengan jalan-jalan, nonton film atau membaca buku. Kita akan bahas satu persatu.

Jalan-jalan.
Kamu bisa melakukannya kemana saja. Misalkan melalui jalan yang jarang kamu lalui. Lihat keadaan, lihat pagar, lihat tukang surabi, lihat solokan yang kamu lewati. Nah, itu yang keuangannya pas-pasan --kayak saya. Kalau kamu punya uang banyak, kamu bisa pergi naek mobil ke daerah-daerah yang belum pernah kamu singgahi; tinggal di pedesaan dan berinteraksi dengan orang-orang baru yang bakal membuat kamu fresh; pergi kepantai; naek gunung dan lain sebagainya.

Nonton Film.
Film ini benar-benar membantu, untuk mendatangkan sesuatu yang kita obrolkan. Mengenai film, saya pernah punya pengalaman pribadi. Suatu waktu –iseng--, saya menonton film India. Film itu mengkisahkan tentang cinta (standar), dan disana, ada dialog yang mengharuskan saya untuk menulis --karena saya terinspirasi.

Suatu saat Sanjay membuat Prita menangis. Prita masuk ke kamar dan mengurung diri selama berhari-hari. Karena keperihan yang dalam, saat disuruh orang tuanya makan ia selalu menolaknya.

Orang tua Prita khawatir kesehatan anaknya, maka diutuslah nenek yang sangat menyayangi Prita. Setelah mengetahui apa yang menyebakan tubuh Prita menjadi kurus, neneknya memberikan pertanyaan yang menyadarkan “jika hati terluka, mengapa justru perut, yang kau sakiti?.”
Jdak! Kalimat-kalimat itu mengiang-ngiang di kuping. Setelah selesai nonton, saya langsung menulis dan mengembangkan perkataan itu dalam bentuk essay.

Selanjutnya ...
Membaca buku
Kata seseorang, seorang penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik pula. Seorang kawan mengatakan demikian. Membaca adalah salah satu cara terbaik dalam mengembangkan imajinasi dan mendatangkan inspirasi. Jika kamu menonton, --kamu-- terlalu dimanjakan oleh visualisai sehingga benak kamu tidak terlalu memainkan imajinasi. Membaca itu berbeda, dengannya kita dapat membuat imajinasi yang tak terkira*.

Pokoknya, cobalah baca novel, ensiklopedia, atau kumpulan puisi, essay, dan cerpen. Jika bacaan itu bagus, saya yakin kamu bakal tersentak dan tiba-tiba ... inspirasi yang kamu tunggu-tunggu itu datang.
“Bang!?. Kalau inspirasi sudah datang, apa yang harus saya lakukan?.”
“Bang bang bang ... kamu yang bang, BANGKONG! (kodok) ”
“He..., he... :D. Gimana dong!?”
“Gimana apanya?.”
“Kamu ini kayak anak kecil yang maunya disuapin! Pokonya nulis! Nulis! Nulis! Dan nulis! Kalau udah dapet inspirasi nulis! Kalo belum dapet, undang itu inpirasi, terus nulis!”
“Kalau udah dapet inspirasi, harus segera ditulis ya bang?.”
“Ya jangan didiemin. Kalo dalam prinsip bisnis men, uang itu harus diputerin supaya nggak abis, nah ... inspirasi juga kayak gitu!. Kalau inspirasi nggak langsung ditulis, nanti jadi basi. Kalau udah basi rasanya nggak enak, jadi hambar!”
“Hambar kayak nasi goreng, yang kemaren abang masak itu ya?”
“Heu... terserah situ aja dah! Tapi gimana nih, udah dapet pointnya belum?”
“Lumayan!, pokonya kalau ada inspirasi langsung ditulis.”
“Nah begitu dong!. Sekarang dari obrolan ini, kamu dapet inspirasi nggak?”
“Dapet bang!”
“Kalau gitu langsung tulis... omong-omong inspirasinya tentang apa?”
“He... he... he ... jangan ah. Nanti marah!”
“Ye mau bikin penasaran ya?. Tentang nasi goreng ya?”
“Bukan!”
“Tentang apa atuh?”
“Tentang upil! ... upil yang nyempil di gigi abang!”
“Huarggggggggggh!”

Setelah mendapatkan inspirasi
Kemudian? menulislah.
Film Finding Forester mengajarkan bahwa di awal awal menulis kita harus melakukannya dengan hati. Setelahnya, baru gunakan fikiran.

Menulis dengan hati membuat penulisan kita lancar --tidak patah-patah (seperti tarian Annisa Bahar) sebab dalam menulisnya kita tidak menggunakan pikiran. Karenanya, wajarlah setelah tulisan selesai, kamu pasti akan menemukan tulisanmu yang tidak memiliki struktur. Hei! jangan dulu kecewa, karena --seperti halnya, sesuatu yang tertumpah-- kata-kata, --yang tertumpah-- bakal ada yang tidak klop dengan tema penulisan. Nggak apa-apa, jangan cemas, karena rata-rata penulis sekaliber apa pun pasti memiliki pengalaman seperti itu.

Setelah kata-kata mu tumpah, baru tulislah dengan fikiran. Edit tulisan kamu. Strukturkan! Kamu pilih-pilah kata, bolak-balikan susunannya sampai pas seperti yang kamu inginkan -- keinginan yang sekiranya sesuai dengan pemahaman pembaca yang bakal menilai kerja kamu. Setelah edit berulang kali. Selesailah itu tulisan. Lalu?

Sebarkan!.
Mengenai sebar menyebar tulisan ini juga bukan sesuatu yang mudah. Diawal penulisan kamu sudah harus mengetahui kalangan mana yang kamu bidik. Kamu sendiri udah tau kan, kalau secara alamiah, ketika ada sesuatu yang disuka, pastilah ada sesuatu yang tidak disuka. Kalau kamu menulis sesuatu yang berat, misalnya ideologi dengan bahasa yang ilmiah maka ‘jangan kasih’ itu tulisan ke orang-orang yang kurang faham mengenai bahasan yang menjelimetkan. Kecuali, kamu mampu membahasakan dengan baik, sesuai dengan --bahasa—kalangan, yang ingin kamu berikan --taruhlah ... pencerahan.

Maksudnya bagaimana?.
Begini, saya akan menuliskan pandangan mengenai ideologi.
Menurut Marx, ideologi adalah kesadaran palsu, tetapi menurut Annabhani berbeda lagi. Ideologi merupakan sebuah pemahaman fundamental, pemahaman yang radic/mendasar, mengenai alam semesta manusia dan kehidupan. Yang dari landasan pemahaman itu, direkonstruksi way of life mengenai kehidupan.

Kalau saya bicara pada orang-orang kayak kamu, maka kita bisa nyambung, tanpa perlu menjelaskan lagi, mengenai ‘kesadaran palsu’, makna ‘fundamental’, ‘radic’, ‘rekonstruksi’ dan ‘way of life’. Tentang hal itu, kita sudah bisa connect satu sama lainnya. Tapi coba utarakan hal itu pada ibu-ibu yang suka jualan gado-gado dekat kosan kita. Wah, pasti sangat sulit untuk dipahaminya.

Oleh karenanya, saat melakukannya, kamu harus menulis tulisan yang sesuai dengan segmentasinya. Sesuaikanlah! Pas-kan-lah, supaya kata-kata kamu, supaya pemikiran kamu bisa segera dimamah biak dan dicerna.

Saat informasi --yang kamu sampaikan—sudah pas dengan segmentasinya kemudian massif dibaca ‘kalangannya’. Maka --lama-kelamaan-- kalangan itu, akan mengalami keinginan ekskresi seperti yang dulu pernah kamu rasakan. Mereka akan mengalami keinginan untuk memuntahkan, dan meledakan.

Menyambung dengan bahasan kita sebelumnya, --maka sejak saat tulisan itu dibaca-, kamu sudah berperan sebagai pengembangbiak ‘subversivisme dalam berfikir. Maka sejak saat itulah, kamu menjadi seorang yang ikut berpartisipasi untuk menutup zaman yang usang, kemudian menggantikannya dengan zaman yang baru. Kalau pilihanmu adalah tidak ikut menggulingkan sebuah zaman, setidaknya menulis dapat menggantikan kamu yang padam, menjadi cahaya yang mampu menunjukan jalan pulang menuju rumah kediaman manusia yang sesungguhnya: jiwa!.