Kami akan terus bergerak, demi sebuah perubahan besar yang akan bergemuruh di muka bumi. Perubahan itu pasti. Pasti datang...

Jumat, 11 April 2008

Harun dan Mahluk dengan sebuah Misi

”Diperuntukkan untuk saudara kaum Muslimin yang mengharapkan hidup Mulia dalam NaunganNYA, dan merindukan Syahid dalam jeritan jiwa. Semoga kita termasuk golongan yang dimenangkan oleh ALLAH. Amin..., ya Rabb al-alamin.


“Hei kak, apa tidak sekarang saja?”.
”Tidak, jangan sekarang!, apa kau tidak lihat pemuda itu akan menyelesaikan raka’at tahajjud yang ke-8?!”.
“Memangnya kenapa?”.
“Huh!, dasar amatiran, di saat-saat begitu dia suka haus dan lapar tau?!, apa kau mau misi kita ketauan!”. Sang adik lagi-lagi menghembus nafas berat dengan ritme putus asa. Sedikit kecewa berada di posisi amatiran, seperti bunyi olok-olok sang kakak. Tapi, dia berbesar hati dan berbalik memfokuskan perhatian pada target sasaran mereka. Bagaimana pun dia adalah sosok terpilih oleh sang ratu. Sementara kebanyakan yang lain harus puas menjadi kelas pekerja di komunitas mereka.

Selama setahun ini, target sasaran mereka adalah si Harun. Pemuda kurus langsing yang memilih bunker pengap ini sebagai lahan perjuangan hidupnya. Sebenarnya bukan target sih, hanya saja, keberadaan si Harun menghalangi tujuan komunitas mereka.

“Apa kubilang, dia mengambil jatah kita. Iya kan, Sabil?”.
“Ya...”, kakak memanggilku Sabil.
Sabil!!. Entah sejak kapan aku akrab dipanggil begituan. Bisa jadi karena kakak sering memergoki si Harun bergumam ‘mujahid ya Fi Sabilillah’ ketika menyaksikan bayangannya di cermin retak yang tergantung di dinding.

Ya…, akulah Sabil. Tugasku cukup berat setelah temanku tewas di dimakan Rang-rang Pejantan dalam pagi yang memilukan. Setelah itu, akulah yang melanjutkan misi mengendap ini. Mengawasi Harun, memberi informasi pada komunitas lalu berpesta. Hmm, kasihan temanku itu, dia mati muda. Aahh, sudahlah!, bukankah tiap perjuangan mutlak ada pengorbanan?!.

Mengendap-endap, membangun kerajaan megah dengan seizinNYA, mengajarkan manusia macam si Harun, betapa hebatnya Tuhan kami; lalu memberi pelajaran agar manusia sadar akan kelemahannya. Sunguh, betapa tak berdayanya manusia sekalipun di hadapan makhluk seperti kami.

”Sudah yg ke-4”, kakak angkat bicara.
“Uuuhhh…..kenapa aku selalu kalah ’cerdas’ darinya?!”, kesalku.

“Apanya kak?”, tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran walaupun sebenarnya malu.
“Si Harun itu, dia menuntaskan kalam Rabbnya untuk yang ke-empat kalinya setahun ini. Aku akan menjadi pembelanya di akhirat nanti”.
“Hmm, kau lihat matanya Sabil?!, mata yang sembab karena takut akan azab Tuhannya. Saksikan juga sudut bibirnya. Sudut penuh makna yang mengharapkan pertemuan terindah ketika ArsyNya dipersilakan baginya”.
”Ya kak, aku juga melihatnya dan aku pun akan menjadi saksi atas ketaatannya”.


Lama kami memperhatikan gerak-gerik si harun dari pagi-siang-malam lalu pagi lagi. Kadang-kadang kami kelelahan. Kami sadar, di penghujung malam seperti ini biasanya kami bisa mencuri kesempatan kala Harun tak lagi segarang singa di siang harinya. Justru mirip rahib yang senantiasa berkhalwat dengan Pencipta.

“Ah..., sial!”, pekik kakak kesal.
Tak pernah kusaksikan kakak sekesal itu sebelumnya. Aku tak banyak tanya. Dari posisi duduk menghadap kiblat, Harun bergegas menuju meja kerja yang diatasnya ada reward kami. Aku bisa memahami betapa kesalnya kakak tadi. Itu artinya, kami harus menunggu labih lama sampai si Harun beranjak dari tempat itu. Sementara ribuan kelas pekerja di sarang kami, sedang menunggu komando dari kami. Bersiap-siap menginvasi target. Cukup dengan 2 antena di kepala, yang kami andalkan.

”Ayolah Harun, cepat kau pergi dari Bunker yang pengap ini!”.
Harun merobek selembar kertas dan meraih sebatang pena usang lalu mulai menulis sambil terus bergumam apa yang dirangkaikannya disana.

“Assalamu’alaikum Warahmatullah”.
Dari bilik bawah tanah yang remang-remang ini, aku mendengar panggilan dari Kesatria Langit, dari Para Bidadari, dari anakku –Hasan- yang kuserahkan pada Rabbku.
Membayangkan kemudahan langkah atas wanita yang mengerti aku -Aisyah-,
merasakan rangkulan dari sahabat yang telah lebih dahulu meraih syahid.
Merindukan anak-anak tangga menuju RidhoNYA.
Telah tiba waktunya.
Mantap sudah segala rencana.
Telah ku-persiapkan generasi penerus Jihad.
Ku-asah sudah apa yang seharusnya.

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Alam Nasyrah yang ku-hujamkan di aliran darahku.
Kujaga itu.
Aku pasrahkan bagian terpenting hidupku.
Jiwa!!.

Sakali lagi kawan,
Telah tiba waktunya.

Selamat datang Syahidku!!.

Wassalam
-Harun al Mustanir-

Pena diletakkan di atas kertas terbuka itu. Tangan harun dituntun menuju bilik kecil mengambil jas khususnya. Jas yang akan mengantarnya syahid. Syahid di tanah yang ditujunya. Tepi Barat!. Tanah yang dihinggapi burung-burung besi Israel-Zionis yang menjatuhkan bola-bola api kepada rakyat sipil yang tak berdosa. Harun menangkap photo wanita dan anak lelaki semata wayangnya. Tersenyum!.

“Aku datang sayang, tunggu aku ya!!”, Harun berkata dalam hatinya.

Harun bergegas keluar bunker dengan langkah penuh keyakinan. Sekilas mata Harun menangkap roti kismis di atas mejanya. Roti kismis harum yang masih sempat-sempatnya di kirimkan rekan-rekan pejuang untuknya selama penantian.

”Indahnya ikatan aqidah ini”, pikirnya.

Harun merobek roti kismis yang tinggal satu-satunya itu menjadi 2 bagian. Meninggalkan sebagian potongan yang lain.

”Rabb, jikalau aku sempat melahapnya hingga siang nanti, sungguh, itu umur yang lama sekali bagiku”, ia berkata seraya memasukkan sisa potongan yang satu lagi ke saku kanannya. Harun pun pergi. Bunker itu kini sunyi.

“Hei, kak!!, ini saatnya…”, sabil memberi kode melalui antena di kepalanya pada sang kakak.

Roti kismis, sebagai target sasaran diinilai aman. Informasi berantai di jalankan. Koloni semut, yang jadi teman-taman Sabil berdatangan. Sabil dianggap sukses menjalankan misinya. Semut-semut itu mondar-mandir di atas meja menuju sarang di balik Bunker.

”Sabil, misi kita sukses”, teriak sang kakak kepada sabil. Ternyata antena kakak lebih panjang dibanding Sabil. Pantas lebih ulet. Hmm, mungkin begitu.

”Ya kak, kita dapat panen dari hasil kerja keras kita. Huhuuiiiii…!!”.

“Selamat makan!!”.

Wassalam.
Alga [Medan].

0 komentar: